BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ekosistem perairan
pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian
cukup besar dalam berbagai kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan di
Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumberdaya alam yang telah di
manfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani
(Resosoedarmo, 1993).
Secara empiris wilayah
pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan
pesisir, transportasi, rekreasi, dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan
tempat pembuangan limbah (Dahuri, 2002).
Penggunaan
bentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks
bologi. Cara ini dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok
organism tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organism ini
berbeda dengan jenis-jenis organism yang hidup di perairan tidak tercemar.
Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan,
sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya
kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Resosoedarmo,
1993). Percobaan ini dilakukan untuk memberikan gambaran tentang pemanfaatan
bentos sebagai indikator kualitas perairan, khususnya pada wilayah danau
Universitas Hasanuddin. Adapun hal-hal yang dikemukakan meliputi pengertian
bentos, faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan bentos, pemanfaatan bentos
sebagai indikator kualitas perairan dan sebagai spesies indikator.
I.2. Tujuan Percobaan
Tujuan
percobaan yaitu :
1. Untuk
mengetahui keragaman bentos dalam ekosistem perairan berdasarkan Indeks
Perbandingan Sekuensial
2. Mengenalkan
dan melatih keterampilan mahasiswa dalam menggunakan peralatan yang berhubungan
dengan keragaman bentos dalam perairan.
I.3.
Waktu dan Tempat Percobaan
Percobaan mengenai Indeks
Perbandingan Sekuensial Keanekaragaman Bentos di Ekosistem Perairan
dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 4 April 2013 pukul 14.00 – 17.00 WITA,
yang bertempat di Laboratorium Biologi Dasar, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin, Makassar, dan
pengambilan sampel dilakukan pada tanggal 4april 2013 pukul 06.00 WITA
bertempat di Danau Kampus Universitas Hasanuddin, Universitas Hasanuddin,
Makassar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem merupakan suatu sistem di alam
dimana terdapat hubungan timbal balik antar organisme dengan organisme lainnya,
juga dengan lingkungannya. Ekosistem sifatnya tidak tergantung ukuran tetapi
ditekankan pada kelengkapan komponennya (Umar, 2013).
Berdasarkan atas habitatnya,
ekosistem dibedakan menjadi ekosistem darat (terrestrial) dan ekosistem
perairan (akuatik). Didalam suatu ekosistem perairan, kita dapat mengenal
komponen-komponennya berdasarkan cara hidupnya yaitu bentos, perifiton,
plankton, nekton dan neuston. Salah satu komponen yang memiliki variasi
organisme cukup banyak dalam perairan adalah bentos (Umar, 2013).
Cairns et al pada tahun 1971
mengembangkan suatu metode yang sederhana, tetapi cukup baik untuk mengestimasi
keanekaragaman biologis secara relatif, yang disebut “sequential Comparison
Index” atau disingkat dengan S.C.I (
Persoone & De Pauw, 1978).
Indeks keanekaragaman ini dalam
bahasa Indonesia disebut Indeks Perbandingan Sekuensial (I.P.S). Menurut
Cairns, indeks ini dapat memenuhi keperluan untuk menilai secara cepat akibat
adanya pencemaran terhadap ekosistem, misalnya sungai, kolam, danau, dan laut.
Cara ini tidak memerlukan keterampilan untuk mengidentifikasi hewan-hewan dalam
komunitas, sehingga dapat menghemat waktu dan pekerjaan (Umar, 2013).
Hewan bentos hidup relatif menetap,
sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu
kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat
lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke
waktu. Karena hewan bentos selalu terus-menerus terdesak oleh air yang
kualitasnya berubah-ubah. Diantara hewan bentos yang relatif mudah
diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah
jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih
dikenal dengan bentos (Umar, 2013).
Bentos sering dijadikan uji
parameter terhadap permasalahan lingkungan seperti pencemaran, sebab jenis
biota laut tersebut hidup didasar laut dan cenderung sangat lambat
pergerakannya dibandingkan jenis lainnya seperti ikan. Disamping itu bentos
sangat sensitif dan peka terhadap suatu perubahan dalam air (Odum, 1993).
Bentos mempunyai peranan yang sangat
penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna menyatakan bahwa dalam
ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai
penghubung dalam aliran energy dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen
tingkat tinggi
(Suwarno, 1980).
Keberadaan hewan bentos dalam suatu
perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotick
maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen,
yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor
abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya : suhu, arus, oksigen terlarut
(DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen
(N), kedalaman air, dan substrat dasar (Sumarwono, 1980).
Berdasarkan kebiasaan hidup
organisme dapat dibedakan sebagai berikut (Sumarwono, 1980) yaitu :
1.
Plankton adalah organisme yang biasanya melayang-layang (bergerak pasif)
mengikuti gerakan aliran air.
2.
Nekton adalah hewan yang aktif berenang dalam air. Misalnya, ikan.
3.
Neuston adalah organisme yang mengapung atau berenang dipermukaan air atau
bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
4.
Perifiton adalah tumbuhan atau hewan yang melekat atau bergantung pada tumbuhan
atau benda lain, misalnya keong.
5. Bentos adalah hewan atau tumbuhan yang hidup
di dasar atau yang hidup pada endapan. Bentos dapat melekat atau bergerak
bebas, misalnya cacing.
Keseimbangan ekosistem perairan
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu unsur-unsur penyusunnya terdiri atas
komposisi yang ideal ditinjau dari segi jenis dan fungsinya yang membentuk
suatu rantai makanan di dalam perairan tersebut. Faktor lainnya yang menentukan
keseimbangan ekosistem perairan adalah proses-proses yang terjadi di dalamnya
yang bersifat biologi, kimia dan fisika berlangsung dalam kondisi yang ideal
pula dan membawa pengaruh yang tidak membahayakan bagi kehidupan di dalam
perairan tersebut (Resosoedarmo,
1993).
Kestabilan
ekosistem perairan berarti kemampuan ekosistem tersebut mempertahankan
keseimbangannya dalam menghadapi perubahan atau guncangan yang disebabkan oleh
pengaruh dari luar. Suatu ekosistem perairan dengan tingkat keseimbangan yang
bersifat fluktuatif akan memberikan dampak yang cukup nyata bagi kehidupan yang
berada didalamnya, sehingga dengan sendirinya akan menjadi suatu tempat yang
tidak kondusif bagi organisme yang hidup didalam ekosistem perairan tersebut.
Bentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada
didasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Hewan ini
memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi
dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan serta meduduki
beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan bentos membantu mempercepat
proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat
herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun
yang mati dan segala yang masuk kedalam perairan menjadi potongan-potongan yang
lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien
bagi produsen perairan (Setiadi, 1989).
Zoobentos
merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar
perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Hewan ini memegang
beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan
mineralisasi material organik yang memasuki perairan, serta menduduki beberapa
tingkatan trofik dalam rantai makanan. Zoobentos membantu mempercepat proses
dekomposisi materi organik (Odum, 1993).
Struktur
komunitas bentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik.
Secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari
masing-masing spesies dalam komunitas. Sedangkan secara abiotik, faktor
lingkungan yang mempengaruhi keberadaan bentos adalah faktor fisika kimia
lingkungan perairan (Setiadi, 1989) yaitu :
1. Penetrasi cahaya yang berpengaruh
terhadap suhu air.
2. Substrat dasar, kendungan unsure
kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hydrogen (pH)
3. Nutrien.
Cahaya
matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari
yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan. Di perairan
yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu
air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di
dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme
perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan
mempercepat perkembangbiakan organisme perairan (Odum, 1993).
Kedalaman
air mempengaruhi kelimpahan dan distribusi bentos. Dasar perairan yang
kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh bentos yang berbeda pula, sehingga
terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalamannya. Pada perairan yang lebih
dalam bentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar.
Karena itu bentos yang hidup diperairan yang dalam ini tidak banyak (Setiadi,
1989).
Berbagai
jenis bentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang
berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang
lebih tinggi. Pada umumnya, bentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan
pemakan di dasar (“bottom feeder”) (Setiadi, 1989).
Cara untuk
mendapatkan data kuantitatif maupun kualitatif mengenai jenis-jenis hewan yang
hidup dalam suatu perairan, hewan tersebut dapat ditangkap dengan menggunakan
berbagai kombinasi berbagai macam cara. Mulai dari penangkapan dengan tangan,
pinset, jala, ayakan, Eickman grab maupun alat-alat lainnya (Umar, 2013).
Keberadaan
hewan bentos pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang mempengaruhi
diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi
hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air (Lakitan, 1987)
yaitu :
1. Suhu
2. Arus
3. Oksigen terlarut (DO)
4. Kebutuhan oksigen biologi (BOD)
5. Kimia (COD)
6. Kandungan nitrogen (N)
7. Kedalaman air
8. Substrat dasar
Zona
litoral memperlihatkan keanekaragaman yang besar dalam kondisi dasar air.
Secara beragam, wilayah dibagi lagi berdasarkan hubungan air zona pertumbuhan.
Biasanya daerah pinggiran atau tepi air sampai batas akar tumbuhan dianggap
sebagai zona litoral. Daerah yang memanjang dari batas terendah akar tumbuhan
sampai batas penyusupan sinar matahari dikenal sebagai zona sublitoral. Dengan
demikian, terdapat perbedaan yang besar mengenai pendapat dalam pengkelasan
zona besar. Setiap zona dalam wilayah litoral memerlukan cara penelitian yang
khas dengan menggunakan peralatan yang cocok. Berbagai pengambilan sampel telah
dirancang atau dibuat tergantung pada sumber (Lakitan, 1987).
BAB III
METODE
PERCOBAAN
III.1. Alat
Alat
yang digunakan dalam percobaan ini adalah botol sampel, Eickman Grab, ayakan (mess), pinset, dan baskom.
III.2.
Bahan
Bahan
yang digunakan dalam percobaan ini adalah bentos, air, kertas dan kantong
plastik.
III.3.
Cara kerja
Cara kerja dalam
percobaan ini adalah:
1.
Cara Pengambilan Sampel
a. Menggunakan Eickman Grab
1.
Dibuka kedua belahan pengeruk Eickman Grab
hingga menganga dan kawat penahannya dikaitkan pada tempat kaitan yang terdapat
pada bagian atas alat tersebut.
2.
Dimasukkan pengeruk secara vertikal dan
perlahan-lahan kedalam air hingga menyentuh dasar perairan.
3.
Dijatuhkan logam pembeban sepanjang tali
pemegangnya sehingga kedua belahan Eickman Grab akan menutup, dan lumpur serta
hewan yang terdapat di dasar perairan akan terhimpun dalam kerukan.
4.
Ditarik secara perlahan-lahan Eickman
Grab keatas dan ditumpahkan isinya kedalam wadah yang tersedia.
5.
Diayak sampel sambil disiram air
sehingga lumpur keluar dan sampah-sampah dibuang. Dipilih bentos yang didapat
dan dimasukkan kedalam botol.
b. Menggunakan ayakan (mess) :
1.
Diambil lumpur yang bercampur organisme
yang berada pada dasar perairan dengan menggunakan ayakan.
2.
Diangkat secara perlahan lalu
dibersihkan menggunakan air (masih tetap menggunakan ayakan).
3.
Dilakukan pengambilan sampel sebanyak 2
kali di tempat yang berbeda.
4.
Disimpan sampel yang telah diayak pada
baskom plastik yang telah disediakan.
5.
Dimasukkan sampel kedalam botol.
2.
Cara kerja di Laboratorium
1.
Ditumpahkan sampel yang telah diambil
kedalam wadah yang telah disediakan dan diambil satu persatu secara acak dan
diletakkan pada wadah yang lain sambil diurutkan.
2.
Diurutkan sampel yang dibandingkan mulai
antara nomor 1 dengan nomor 2, nomor dua dengan nomor 3 dan seterusnya,
kemudian dilihat apakah sejenis atau tidak.
3.
Dilakukan pengamatan diatas meja. Jenis
yang dianggap sama diberi kode yang sama dan ini berarti tergolong se “Run”.
Hal ini dilakukan tidak peduli jenis apapun, asal serangkaian sampel tadi
dianggap sama.
4.
Dilakukan pengamatan sampai semua sampel
habis, dicatat semua data dalam buku, kemudian dilakukan perhitungan Indeks
Keanekaragaman Sekuensial bentos tersebut dengan menggunakan rumus :
Indeks Perbandingan
Sekuensial
S.C.I (I.P.S) =
BAB
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 1 Hasil
IV. 1.1 Tabel Pengamatan
A.
Pengamatan dengan menggunakan Eickman
Grab
AA BB C B A B C BBBBBB C
BBBB C BB CC BBBBBBB CC BBBB
CC BBBBBB C BBBBBBBBBB
|
B.
Pengamatan Menggunakan Ayakan (mess)
A B A BBBBBBBB A BBBBB A
BBBBBBBB C BBBBBB
|
Klasifikasi Derajat Pencemaran dan
Interpretasi Diversitas Komunitas dengan menggunakan Indeks Perbandingan
Sekuensial.
Derajat
Pencemaran
|
Diversitas
Komunitas (S.C.I)
|
Belum tercemar
Tercemar ringan
Tercemar sedang
Tercemar berat
|
2
1,6 – 2,0
1,0 – 1,5
1
|
IV. 1.2 Analisis Data
A.
Nilai Indeks Perbandingan Sekuensial (IPS) untuk Eickman Grab
S.C.I (I.P.S)
=
=
=
=
1,05
Dari nilai I.P.S yang didapatkan
untuk Eickman Grap, maka dapat
diketahui bahwa kondisi perairan pada tempat tersebut tercemar sedang.
B. Nilai Indeks Perbandingan Sekuensial
(IPS) untuk Ayakan
S.C.I (I.P.S)
=
=
=
=
0,9
Dari nilai I.P.S yang didapatkan
untuk Ayakan, maka dapat diketahui bahwa kondisi perairan pada tempat tersebut
tercemar berat.
IV.2 Pembahasan
Percobaan
tentang Indeks Perbandingan Sekuensial Keanekaragaman Bentos di Ekosistem
Perairan, dilakukan pengambilan sampel di beberapa tempat disekitar danau
Universitas Hasanuddin. Pengambilan sampel dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan menggunakan Ayakan dan Eickman
Grab. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak dua kali.
Percobaan dengan menggunakan alat Eickman Grab, yaitu untuk mengambil
organisme-organisme pada bagian dasar perairan dimana pada penggunaan Eickman Grab, bagian mulut dari Eickman Grab akan tertutup secara
otomatis dan mengeruk organisme-organisme beserta lumpur, yang ada pada dasar
perairan. Pada penggunaan Ayakan (mess) yaitu untuk mengambil mikroorganisme di
dasar perairan dengan cara seseorang mengeruk tanah dari dasar perairan dengan
menyelam.
Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan
bahwa pengambilan sampel dengan menggunakan Eickman
Grab memiliki Indeks Perbandingan sekuensial (IPS) sebesar 1,05. Berdasarkan
derajat pencemaran, menunjukkan bahwa tempat pengambilan sampel tersebut
tercemar sedang dan memiliki tingkat keanekaragaman bentos yang sedang.
Sedangkan hasil analisis data yang diperoleh pada pengambilan sampel
menggunakan Ayakan (mess) memiliki Indeks Perbandingan sekuensial sebesar 0,9.
Berdasarkan derajat pencemaran, menunjukkan bahwa tempat pengambilan sampel
tersebut tercemar berat dan memiliki tingkat keanekaragaman bentos yang rendah.
Keberadaan hewan bentos pada suatu
perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya yaitu faktor
lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang mempengaruhi
diantaranya adalah sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik
adalah fisika-kimia air yang diantaranya suhu, arus, oksigen terlarut,
kebutuhan oksigen biologi, kandungan nitrogen, kedalaman air, dan substrat
dasar yang ada di perairan.
Hasil yang diperoleh, bila
dibandingkan dengan teori yaitu jika keanekaragaman tinggi berarti tidak
terjadi pencemaran tetapi jika keanekaragaman rendah berarti terjadi pencemaran
maka dapat dikatakan bahwa hasil yang kita dapat dari percobaan ini sudah sesuai
dengan teori, dimana pada percobaan, didapatkan bentos yang banyak pada penggunaan
Eickman Grab dan setelah dianalisis,
pencemarannya tergolong sedang, dan pada penggunaan ayakan didapatkan sedikit
bentos dan setelah dianalisis pencemarannya tergolong berat.
BAB V
PENUTUP
V.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang
dapat ditarik dari percobaan ini adalah :
1. Dari nilai Indeks Perbandingan
Sekuensial yang didapatkan pada penggunaan ayakan yaitu 0,9 berarti bahwa
tempat tersebut tercemar berat dan memiliki keanekaragaman bentos yang rendah,
sedangkan pada penggunaan
Eickman Grab nilai Indeks
Perbandingan Sekuensial yang didapat sebesar 1,05 berarti tempat tersebut
tercemar sedang dan memiliki keanekaragaman bentos yang sedang.
2. Untuk mengetahui berapa besar
keanekaragaman bentos dalam suatu ekosistem perairan, maka dapat digunakan alat
Eckman Grap dan Ayakan (mess)
V. 2 Saran
Saran
saya adalah sebaiknya alat untuk pengambilan sampel ditambah lagi, sehingga
tidak saling menunggu untuk menggunakan alat, terutama Eickman Grab.
LAPORAN
PRAKTIKUM
EKOLOGI
UMUM
PERCOBAAN
V
IIDEKS
PERBANDINGAN SEKUENSIAL
KEANEKARAGAMAN
BENTOS DI EKOSISTEM
NAMA : SUNARTO ARIF SURA’
NIM : H41112284
KELOMPOK : I (SATU)
HARI/TGL
PERC. : KAMIS/ 4 APRIL 2013
ASISTEN : SUWARDI
NURJIHADINNISA
LABORATORIUM
ILMU LINGKUNGAN DAN KELAUTAN
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri,
R., 2012. Membangun Kembali Perekonomian
Indonesia melalui Sektor
Perikanan dan Kelautan. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta.
Lakitan,
B., 1987. Bentos Sebagai Indikator
Kualitas Perairan Pesisir. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Odum,
E., 1993. Dasar-Dasar Ekologi.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Persoone
& De Pauw, 1987. Biological Aspect of
Freshwater Pollution. Research Centre of the Commision of the European
Communities, Italy.
Resosoedarmo,
1993. Polusi Domestik dan Kualitas Air.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Setiadi,
A., 1989. Pengantar Ekologi. PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sumarwono,
1980. Ekologi Perairan. Universitas
Padjajaran, Bandung.
Umar,
M. Ruslan., 2013. Penuntun Praktikum
Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar